Pakuan
Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan
Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang selama beberapa abad (abad ke-7
hingga abad ke-16) pernah berdiri di wilayah barat pulau Jawa. Lokasi
Pakuan Pajajaran berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang.
KERAJAAN PADJADJARAN
Kerajaan Pajajaran adalah sebuah
kerajaan Hindu yang diperkirakanberibukotanya di Pakuan (Bogor) di Jawa
Barat. Dalam naskah-naskah kunonusantara, kerajaan ini sering pula
disebut dengan nama Negeri Sunda,Pasundan, atau berdasarkan nama
ibukotanya yaitu Pakuan Pajajaran.Beberapa catatan menyebutkan bahwa
kerajaan ini didirikan tahun 923oleh Sri Jayabhupati, seperti yang
disebutkan dalam prasasti SanghyangTapak.
Sejarah
Sejarah kerajaan ini tidak dapat
terlepas dari kerajaan-kerajaanpendahulunya di daerah Jawa Barat, yaitu
Kerajaan Tarumanagara,Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, dan Kawali.
Hal ini karenapemerintahan Kerajaan Pajajaran merupakan kelanjutan dari
kerajaan-kerajaan tersebut. Dari catatan-catatan sejarah yang ada,
dapatlahditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai ibukota
Pajajaran yaituPakuan. Mengenai raja-raja Kerajaan Pajajaran, terdapat
perbedaan urutanantara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita
Parahiangan, dan CaritabWaruga Guru.
Selain naskah-naskah babad,
Kerajaan Pajajaran juga meninggalkansejumlah jejak peninggalan dari masa
lalu, seperti:Prasasti Batu Tulis, Bogor Prasasti
Batutulis Prasasti Batutulis terletak di jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis,Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor.
Kompleks Prasasti Batutulis
memiliki luas 17 x 15 meter. Batu Prasasti dan benda-benda
lainpeninggalan kerajaan Sunda terdapat dalam komplek ini. Pada batu ini
berukir kalimat-kalimat dengan huruf Sunda Kuno.
Isi Prasasti: Wangna pun
ini sakakala, prebu ratu purane pun,diwastu diya wingaran prebu guru
dewatapranadi wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu hajj di
pakwan pajajaranseri sang ratu dewatapun ya nu nyusuk na pakwandiva anak
rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) curahyang
niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarangya siya
ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyanlsa(ng)h
yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawae(m) ban
bumi
Terjemahan Terjemahan bebasnya
kira-kira seperti ini : Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu
almarhum Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana,dinobatkan
(lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran
Sri Sang Ratu Dewata.
Dialah yang membuat parit
(pertahanan) Pakuan.Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di
Gunatiga, cucuRahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa
Larang.
Dialah yang membuat tanda
peringatan berupa gunung-gunungan,membuat undakan untuk hutan Samida
membuat Sahiyang Telaga RenaMahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka
"Panca Pandawa Mengemban Bumi"
Catatan kaki^ Lokasi
hutan samida ini konon yang sekarang dipakai sebagai KebunRaya Bogor.^
Ini adalah sangkala yang artinya adalah 5 5 4 1 atau kalau dibalik
adalah1455 Saka (1533 Masehi)Prasasti Sanghyang Tapak, SukabumiPrasasti
Kawali, CiamisPrasasti Astana GedePrasasti Astana Gede atau Prasasti
Kawali merujuk pada beberapa prasastiyang ditemukan di kawasan Kabuyutan
Kawali, kabupaten Ciamis, JawaBarat, terutama pada prasasti "utama"
yang bertulisan paling banyak (Prasasti Kawali I).
Adapun secara keseluruhan,
terdapat enam prasasti.Kesemua prasasti ini menggunakan bahasa dan
aksara Sunda (Kaganga).Meskipun tidak berisi candrasangkala, prasasti
ini diperkirakan berasal dariparuh kedua abad ke-14 berdasarkan nama
raja.Berdasarkan perbandingan dengan peninggalan sejarah lainnya
sepertinaskah Carita Parahyangan dan Pustaka Rajya Rajya di Bhumi
Nusantara,dapat disimpulkan bahwa Prasasti Kawali I ini merupakan
sakakala atautugu peringatan untuk mengenang kejayaan Prabu Niskala
Wastu Kancana,penguasa Sunda yang bertahta di Kawali, putra Prabu
Linggabuana yanggugur di Bubat.
Isi teks Teks di bagian muka:
nihan tapa kawa-li nu sang hyang
mulia tapa bha-gya par ĕbu raja wastumangad ĕg di kuta ka-wali nu
mahayuna kadatuansura wisesa nu marigi sa-kuliling dayĕh. nu najur
sakaladesa aja manu panderi pak ĕnagawe ring hayu pak ĕn hebel jaya dina
buana
Teks di bagian tepi tebal: hayua diponah-ponah hayua dicawuh-cawuhinya neker inya anggerinya ninycak inya rempag
Alihbahasa Teks di bagian muka:
Inilah
jejak (tapak) (di) Kawali (dari) tapa beliau Yang Mulia Prabu RajaWastu
(yang) mendirikan pertahanan (bertahta di) Kawali, yang
telahmemperindah kedaton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan
disekeliling wilayah kerajaan, yang memakmurkan seluruh pemukiman.
Kepada yang akan datang,
hendaknya menerapkan keselamatan sebagailandasan kemenangan hidup di
dunia.Teks di bagian tepi tebal: Jangan dimusnahkan! Jangang
semena-mena!Ia dihormati, ia tetap.Ia menginjak, ia roboh.Tugu
Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, JakartaTaman perburuan, yang
sekarang menjadi Kebun Raya Bogor.
Daftar raja Pajajaran
Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521) Sri Baduga Maharaja
Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) mengawali pemerintahan zamanPajajaran, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521).
Pada masa inilah Pakuan mencapai
puncak perkembangannya.Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri
Baduga dinobatkan duakali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima
Galuh dari ayahnya(Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu
Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda
dari mertuanya,Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa
Sunda-Galuh dandinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di
Pakuan PajajaranSri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk
terakhir kalinya, setelah"sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali
menyaksikan iring-iringanrombongan raja yang berpindah tempat dari timur
ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat
dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran
1 Prabu Siliwangi
2 Biografi
2.1 Masa muda
2.2 Perang Bubat
3 Kebijakan Sri Baduga dan Kehidupan Sosial
4 Peristiwa-peristiwa di masa pemerintahannya
4.1 Carita Parahiyangan
4.2 Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.
Prabu Siliwangi
Di Jawa Barat Sri Baduga ini
lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.Nama Siliwangi sudah tercatat
dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun.Naskah itu ditulis tahun 1518
ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon PrabuSiliwangi dalam berbagai
versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja diPakuan.
Peristiwa itu dari segi sejarah
berarti saat Sri Baduga mempunyaikekuasaan yang sama besarnya dengan
Wastu Kancana (kakeknya) aliasPrabu Wangi (menurut pandangan para
pujangga Sunda).Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh
menyebut gelar rajayang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan
sebutan Siliwangi.
Dengan nama itulah ia dikenal
dalam literatur Sunda. Wangsakerta punmengungkapkan bahwa Siliwangi
bukan nama pribadi, ia menulis:"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang
Carbon mwang sakweh irawwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja
Pajajaran.
Dadyekadudu ngaran swaraga
nira".Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang
JawaBarat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu
bukannama pribadinya.BiografiMasa mudaWaktu mudanya Sri Baduga terkenal
sebagai kesatria pemberani dantangkas bahkan satu-satunya yang pernah
mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan
Subanglarang (istri kedua PrabuSiliwangi yang beragama Islam).
Dalam berbagai hal, orang
sejamannyateringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja
LinggaBuana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.Tentang hal
itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkanbahwa orang
Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti PrabuWangi, sebagai silih
yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut(artinya saja):"Di
medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja
sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak maunegaranya
diperintah dan dijajah orang lain.Ia berani menghadapi pasukan besar
Majapahit yang dipimpin oleh sangPatih Gajah Mada yang jumlahnya tidak
terhitung.
Oleh karena itu, iabersama semua
pengiringnya gugur tidak tersisa.Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran
dan kesejahteraan hiduprakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat.
Kemashurannya sampai kepadabeberapa negara di pulau-pulau Dwipantara
atau Nusantara namanya yanglain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja
membangkitkan (rasa banggakepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan,
angkatan perang dan rakyat Jawa Barat.
Oleh karena itu nama Prabu
Maharaja mewangi. Selanjutnya iadi sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya
lalu disebut dengan nama PrabuSiliwangi. Demikianlah menurut penuturan
orang Sunda".Perang BubatKesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan
kenyataan sejarahseperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi.
Pangeran Wangsakerta,
penanggung jawab penyusunan
Sejarah Nusantara, menganggap bahwatokoh Prabu Wangi adalah Maharaja
Linggabuana yang gugur di Bubat,sedangkan penggantinya ("silih"nya)
bukan Sri Baduga melainkan WastuKancana (kakek Sri Baduga, yang menurut
naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).
Nah, orang Sunda tidak
memperhatikan perbedaan ini sehinggamenganggap Prabu Siliwangi sebagai
putera Wastu Kancana (PrabuAnggalarang). Tetapi dalam Carita
Parahiyangan disebutkan bahwa NiskalaWastu Kancana itu adalah "seuweu"
Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala(ayah Sri Baduga) dilewat? Ini
disebabkan Dewa Niskala hanya menjadipenguasa Galuh.
Dalam hubungan ini tokoh Sri
Baduga memang penerus"langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka
Rajyarajya I BhumiNusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa
Niskala danSusuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata
bergelarMaharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa
Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti
diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itudianggap sebagai "silih"
(pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (olehPangeran Wangsakerta disebut
Prabu Wangisutah). "Silih" dalampengertian kekuasaan ini oleh para
pujangga babad yang kemudianditanggapi sebagai pergantian generasi
langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera
Wastu Kancana.Kebijakan Sri Baduga dan Kehidupan SosialTindakan pertama
yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah
menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yangdisampaikan melalui
ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali.
Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satuprasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan.
Isinya sebagai berikut(artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda
peringatan bagi Rahyang Niskala WastuKancana. Turun kepada Rahyang
Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan
Pajajaran.
Harus menitipkan ibukotadi Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.Semoga ada yang mengurusnya.
Jangan
memberatkannya dengan "dasa","calagra", "kapas timbang", dan "pare
dongdang".Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan
memungutbea.
Karena merekalah yang selalu
berbakti dan membaktikan diri kepadaajaran-ajaran. Merekalah yang tegas
mengamalkan peraturan dewa.Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan"
(ibukota) di Jayagiri dan SundaS embawa.
Penduduk kedua dayeuh ini
dibebaskan dari 4 macam pajak,yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan),
"calagra" (pajak tenaga kolektif),"kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan
"pare dondang" (padi 1 gotongan).Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut
adalah dasa, calagra, "upeti","panggeureus reuma".
Dalam koropak 406 disebutkan
bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarangBungbulang, Garut) harus membawa
"kapas sapuluh carangka" (10carangka = 10 pikul = 1 timbang atau
menurut Coolsma, 1 caeng timbang)sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun.
Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara
perorangan, melainkan kepada penguasasetempat."Pare dondang" disebut
"panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebihatau hasil cuma-cuma
tanpa usaha.
Reuma adalah bekas ladang. Jadi,
padiyang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen
dankemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak
raja atau penguasa setempat (tohaan).
Dongdang adalah alat pikul seperti"tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan.
Dondang harus selalu digotong.
Karena bertali ataubertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga
disebut "dondang"(berayun).
Dondang pun khusus dipakai untuk
membawa barang antaranpada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu,
"pare dongdang" atau"penggeres reuma" ini lebih bersifat barang
antaran.Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa"
dan"calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti).
Tugas-tugas yang harus
dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya :menangkap ikan,
berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja diladang atau di
"serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya diperuntukkan bagi
upacara resmi).
Dalam kropak 630 disebutkan
"wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa
ialah prajurit kerajaan yang memimpincalagara. Sistem dasa dan calagara
ini terus berlanjut setelah jamankerajaan. Belanda yang di negaranya
tidak mengenal sistem semacam inimemanfaatkanna untuk "rodi".
Bentuk dasa diubah
menjadi"Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau
pembesar).Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum)
atau"Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentinganumum,
seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis
pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis keduadilakuan
dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan"Cultuurstelsel" yang
keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkantradisi pajak tenaga
ini.Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe"
danberlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk
mereka yang melalaikannya.
Dari sinilah orang Sunda
mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk
menghindarihukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap
berlangsung. Didesa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah
bengkok dan titingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para
pembesarsetempat. Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk
kepentingan umumatas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah
gotong royong.Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam
bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah
dikenalpada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya
berupa "piteket" karena langsungmerupakan perintahnya. Isinya tidak
hanya pembebasan pajak tetapi jugapenetapan batas-batas "kabuyutan" di
Sunda Sembawa dan GunungSamaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan"
yang disebut juga desaperdikan, desa bebas pajak.Gelar "Sripaduka" ( Sri
Baduga ) pada zaman Pajajaran Nagara disandangoleh 3 tokoh :
- Wastukancana / Rd. Pitara Wangisuta / SRI PADUKAMAHARAJA PRABU GURU DEWATA PURANA RATU HAJI DI PAKUAN PAJAJARANSANG RATU KARANTEN ( KARA ANTEN ) RAKEYAN LAYARAN WANGI /SUNANRUMENGGONG (RAMA HYANG AGUNG ) adik dari Dyah Pitaloka Citraresmianak dari Rd. Kalagemet /Jayanagara II / Raja Sundayana di Galuh /RatuGaluh di Panjalu / Maharaja Prabu Wangi dan merangkap Wali NagariHujung Galuh ( Majapahit-Pajajaran Wetan / Jawa Pawatan / Galuh - menjadiwali sang kakak Linggabuana/Jayanagara I/Maharaja Prabu Diwastu ayahdari Hayam Wuruk /Hyang Warok /Rd. Inu Kertapati /Susuk Tunggal/Prabumulih /Prabu Seda Keling /Sang Haliwungan /Pangeran BorosNgora/Ra- Hyang Kancana )gugur pada "PERANG BUBAT" dalampertempuran yang tidak "FAIR" atas "REKAYASA" Gajah Mada / Guan Eng Cudan Nangganan /Ki Ageng Muntalarasa /Syekh BEN TONG!!!!,dengan caradibokong dan di keroyok !!!.
- Mundinglayadikusumah / Rd. Samadullah SurawisesaMundinglayadikusumah/SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU GANTANGANSANG SRI JAYA DEWATA /KEBO KENONGO /ARYA KUMETIR /RD.KUMETIR /KIAGENG PAMANAH RASA / SUNAN PAGULINGAN anak dari LINGGA HYANG /LINGGA WESI / HYANG BUNI SWARA /SRI SANGGRAMAWIJAYATUGGAWARMAN /MAHAPATI ANAPAKEN ( MENAK PAKUAN )/ RD. H. PURWAANDAYANINGRAT / SUNAN GIRI /HYANG TWAH / BATARA GURUNISKALAWASTU DI JAMPANG.
- MUNDINGWANGI/ SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU DEWATAPRANASANG PRABU GURU RATU DEWATA anak dari Wastukancana.Rakeyan MundinglayaSILIWANGI I Rd. Samadullah Surawisesa Mundinglayadikusumah Sri PadukaMaharaja Prabu Guru Gantangan Sang Sri Jaya Dewata / Ki Ageng PamanahRasa / Sunan Pagulingan / Kebo Kenongo / Rd. Kumetir / Layang KumetirRakeyan MundingwangiSILIWANGI II Rd.Salalangu Layakusumah Sri Paduka Maharaja Prabu GuruDewata Prana Sang Prabu Guru Ratu Dewata / Kebo Anabrang ?Rakeyan Mundingsari /MundingkawatiSILIWANGI III Tumenggung Cakrabuana Wangsa Gopa Prana Sang PrabuWalangsungsang Dalem Martasinga Syekh Rachmat Syarif HidayatullahSunan Gunung Jati I Ki Ageng Pamanahan / Kebo Mundaran ?
Peristiwa-peristiwa di masa pemerintahannya
Beberapa peristiwa menurut sumber-sumber sejarah:
Carita Parahiyangan
Dalam sumber sejarah ini,
pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :"Purbatisi purbajati, mana
mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit.
Sukakreta tang lor kidul kulon
wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dinaurang reya, ja loba di
sanghiyang siksa".(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak
akan kedatanganmusuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin.
Senang sejahtera diutara, barat
dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tanggaorang banyak
yang serakah akan ajaran agama).
Dari Naskah ini dapat diketahui,
bahwa pada saat itu telah banyak RakyatPajajaran yang beralih agama
(Islam) dengan meninggalkan agama lama.
RAKEYAN
MUNDINGSARI/MUNDINGKAWATI/TUMENGGUNG CAKRABUWANAWANGSA GOPA PRANA SANG
PRABU WALANGSUNGSANG/DALEMMARTASINGA /SYEKH RACHMAT SYARIF HIDAYATULLAH
SUNAN GUNUNG JATII /KEBO ANABRANG ? SILIWANGI III /SUNAN RACHMAT adalah
anak dariHyang Warok / Susuk Tunggal /Sang Haliwungan Pustaka Nagara
Kretabhumi parwa
Naskah ini menceritakan, bahwa
pada tanggal 12 bagian terang bulanCaitra tahun 1404 Saka, Syarif
Hidayat menghentikan pengiriman upetiyang seharusnya di bawa setiap
tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari
Lara Santang]. Ia dijadikan raja oleh uanya(Pangeran Cakrabuana) dan
menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]Ketika itu
Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnyadi
Surawisesa).
Kemudian diberitakan, bahwa
pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk
menjagakemungkinan datangnya serangan Pajajaran.Tumenggung Jagabaya
beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkandari Pakuan ke Cirebon,
tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak disana. Jagabaya tak berdaya
menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar.
Setelah berunding, akhirnya Jagabayamenghamba dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan
kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segeradisiapkan untuk menyerang
Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itudapat dicegah oleh Purohita
(pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih.[Cirebon adalah daerah
warisan Cakrabuana (Walangsungsang) darimertuanya (Ki Danusela) dan
daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya KiGedeng Tapa (Ayah
Subanglarang).
Cakrabuana sendiri dinobatkan
oleh Sri Baduga (sebelum menjadiSusuhunan) sebagai penguasa Cirebon
dengan gelar Sri Mangana. KarenaSyarif Hidayat dinobatkan oleh
Cakrabuana dan juga masih cucu SriBaduga, maka alasan pembatalan
penyerangan itu bisa diterima olehpenguasa Pajajaran.
Demikianlah situasi yang
dihadapi Sri Baduga pada awal masapemerintahannya. Dapat dimaklumi
kenapa ia mencurahkan perhatiankepada pembinaan agama, pembuatan parit
pertahanan, memperkuatangkatan perang, membuat jalan dan menyusun
PAGELARAN (formasitempur).
Pajajaran adalah negara yang
kuat di darat, tetapi lemah di laut.Menurut sumber Portugis, di seluruh
kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri
memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Dilaut, Pajajaran hanya
memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton untuk kepentingan perdagangan
antar-pulaunya (saat it perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000
ekor/tahun.
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkandengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak.
Ada empat pasangan yang
dijodohkan, yaitu : Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana
(Purnamasidi).Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.Pangeran Jayakelana
dengan Ratu Pembayun.Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu
Nyawa).
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor
alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati
Sarjawala, panglima angkatan laut,Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk
sementara berada di Cirebon.Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat
mencemaskan Sri Badugadi Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota
Surawisesamenghubungi Panglima Portugis Alfonso d'Albuquerque di Malaka
(ketikaitu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai atau Samudra Pasai).
Sebaliknya
upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.Pangeran
Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetapmenghormati Sri
Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek.Oleh karena itu
permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah
ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektorpemerintahan.
Sri Baduga hanya tidak senang
hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan
Cirebon. Terhadap Islam, iasendiri tidak membencinya karena salah
seorang permaisurinya,Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga
anaknya --Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja
Sangara --diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).Karena
permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, makamasing masing
pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya.Demikianlah
pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jamankesejahteraan (Carita
Parahiyangan).
Tome Pires ikut mencatat
kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is
justlygoverned; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan
adil;mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan
perdagangan Sunda dengan Malaka sampai kekepulauan Maladewa (Maladiven).
Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar(1 bahar = 3 pikul) setahun,
bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannyacukup untuk mengisi muatan 1000
kapal.Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah
karuhunKabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa
danhuruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga
inidengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak
mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikankebesarannya
oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu
Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhuna di
Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39tahun (1482 - 1521). Ia disebut
secara anumerta Sang Lumahing (SangMokteng) Rancamaya karena ia
dipusarakan di Rancamaya.
Surawisesa (1521 – 1535)
Ratu Dewata (1535 – 1543)
Ratu Sakti (1543 – 1551)
Raga Mulya (1567 – 1579)
KeruntuhanKerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaanSunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten.
Berakhirnya jaman
Pajajaranditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana
(singgahsanaraja), dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan
Maulana Yusuf.Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena
tradisipolitik agar di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru,
danmenandakan Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Pajajaran yang
sahkarena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Palangka Sriman Sriwacana
tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas KeratonSurasowan di
Banten. Orang Banten menyebutnya Watu Gigilang, berarti mengkilap atau
berseri, sama artinya dengan kata Sriman.Saat itu diperkirakan terdapat
sejumlah punggawa istana yangmeninggalkan kraton lalu menetap di daerah
Lebak. Mereka menerapkantata cara kehidupan lama yang ketat, dan
sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.
0 komentar:
Posting Komentar