Partai Islam Bangkit Di Mana-Mana, Di Indonesia pun Mulai Menggeliat ! Tapi demikian, opini dan perbincangan politik menyongsong Pileg (Pemilu Legislatif) dan Pilpres (Pemilu Presiden) 2004 sudah amat kental akan kesimpulan bahwa Partai Islam terpuruk dan semakin terpuruk, sesuai dengan judul di atas. Pasca Pileg 2009, Yusril Ihza Mahendra, seorang pimpinan teras Partai Bulan Bintang (PBB) menolak keras opini itu. Kata Yusril, kekalahan PBB, bukan sermata-mata kesalahan internal partai yang kurang gigih bekerja, tapi juga karena didzalimi oleh sistem.
Klaim bahwa partai Islam menurut survei dikatakan terus-menerus menurun, peminatnya, hal ini tidak benar, karena faktanya dalam Pemilu 2009 lalu, kata Yusril, semua partai politik (yang lolos Parliament Threshold) ternyata semua merosot perolehan suaranya dibandingkan Pemilu 2004, kecuali satu partai saja yang naik drastis suaranya, yakni Partai Demokrat. Yusril tidak merinci partainya, PBB, didzalimi itu seperti apa. PBB menempati urutan ke-10 perolehan suara, dan hanya 9 partai saja yang lolos Parliament Threshold. Belakangan muncul berita, di antara alasan memperkarakan Antasari Azhar sebagai otak pembunuh, Antasari, sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, dikutip pers hendak membongkar manipulasi dan penyelewengan IT dalam Pileg 2009 itu.
Data yang disampaikan Yusril memang tak bisa dibantah, karena perolehan suara itu sudah diumumkan, dan klaim Yusril itu benar adanya. Tapi mengapa muncul opini, bahwa partai Islam terpuruk, dan faktanya memang terpuruk. Suara PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PKS (Partai Keadilan Sejahtera), merosot drastis, dan PBB, menurut HMS Kaban sang Ketua Umum, walau secara matematis suaranya bahkan naik sedikit dibanding Pemilu 2004, tapi karena sistem dikenakannya Parliament Threshold tadi, maka PBB terjungkal keluar dari gelanggang. Sementara model stambush-accord, penggabungan suara , karena ditiadakan, maka pintu berkoalisi dengan partai Islam lain, yakni PKNU, menjadi tertutup rapat-rapat. Padahal suara PKNU saat itu cukup signifikan, dan jika digabung dengan PBB niscaya menjadi kekuatan penyeimbang di DPR-RI. Inilah yang dikatakan Yusril sebagai didzalimi oleh sistem.
Opini untuk mengkerdilkan Partai Islam, sejatinya hanyalah riak yang kini menjadi gelombang besar sekaligus mengkerdilkan, bahkan mendiskreditkan Islam. Dalam ranah opini, kendati Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia, tapi sungguh ironis dalam berbagai kasus menyangkut aspirasi Islam, niscaya dikalahkan gelombang opini yang menentangnya. Kekuatan penentang seperti ini dimungkinkan karena mereka menguasai sepenuhnya lembaga pers, apapun jenisnya.
Kekuatan penentang Islam semakin menemukan “kemenangannya” setelah berhasil mendudukkan Joko Widodo dan Ahok menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta belum lama berselang. Umat Islam melalui berbagai tokoh bahkan MUI (Majelis Ulama Indonesia) terang-terangan menentang penguasa DKI Jakarta diduduki oleh golongan bukan Islam (Ahok yang Protestan). Tapi upaya gigih tokoh dan ulama ini gagal, walau Joko Widodo-Ahok hanya menang sangat tipis atas Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Kemenangan Joko Widodo-Ahok ini, digadang-gadang sebagai model Pileg dan Pilpres--dan sudah tentu semua Pilkada--yang ideal. Maknanya Presiden pun bisa saja dipilih dari golongan minoritas, bukan Islam, bukan suku Jawa. Rakyat DKI Jakarta yang mutlak mayoritas Islam itu pun dipuji-puji dan disanjung sebagai rakyat yang sangat cerdas, telah mau memilih Ahok yang Cina. Besok didorong jika ingin disebut cerdas harus berani pula memilih presiden yang Kristen, Cina dan seterusnya. Apakah dorongan dan provokasi seperti ini berlaku kepada rakyat golongan Kristen dan keturunan Cina. Sedikitpun mereka tidak disinggung, jika berani memilih tokoh Islam, sebagai cerdas. Faktanya, semua, penduduk beragama Kristen dan keturunan Cina bersatu-bulat memilih Ahok, namun mereka tidak dituduh-tuduh sebagai fundamentalis, primordialis. Sangat licik dan jauh dari bermain fair, dan demokratis sebagaimana didengang-dengungkan selama ini.
Sangat Malang dan Terlunta-lunta
Bahwa selama ini umat Islam berkeluh-kesah kondisinya selalu dimarginalkan alias dipinggirkan oleh rejim Soeharto selama puluhan tahun, tapi kondisi itu ternyata tetap berlaku bahkan lebih parah di era yang dinamakan era reformasi ini. Sangat malang dan terlunta-lunta, aspirasi Islam.
Di era para founding-fathers, para pemimpin bangsa yang Muslim, terjun dalam Pemilu 1955, kekuatan partai Islam tercatat sejarah mengalahkan golongan nasionalis-sekuler. Perolehan kursi Pemilu 1955 menempatkan PNI dan Masyumi, sebagai terbesar. Kelebihan suara PNI atas Masyumi tidak cukup diperhitungkan sebagai 1 kursi. Jika suara Masyumi digabung dengan NU, sebagai pemenang ke-3 Pemilu 1955, niscaya kekuatan partai Islam menang pada Pemilu 1955 itu.
Sejarah berulang pada Pemilu era reformasi 1999, PDI Perjuangan memenangi Pemilu 1999 ini dengan suara 32% lebih. Suara partai Islam yang bercerai-berai dalam belasan partai Islam dibuat KO. Namun ketika muncul ide Poros-Tengah, bergabungnya partai-partai Islam dan partai berbasis massa Islam, PDI Perjuangan pun dibuat mati-kutu dalam Pilpres di gedung Parlemen. Abdurrahman Wahid pun terpilih sebagai presiden RI ke-4 menggantikan BJ. Habibie. Megawati terpilih keesokan harinya sebagai Wakil Presiden, hanya karena “Belas-kasihan” Abdurrahman yang meminta semua pimpinan Poros-Tengah merelakan pilihan seperti ini. Mengapa pelajaran kongkrit : Poros-Tengah tidak pernah dijadikan solusi membalikkan keterpurukan partai-partai Islam? Bukankan ajaran Islam sendiri mendorong terciptanya persaudaraan Islam? Kepentingan dan egoisme, puak dan kelompok mengalahkan akal sehat yang sudah terbukti secara matematis menjadi solusi kemenangan itu.
Salah satu “Penyakit” kronis di kalangan aktifis dan politisi Islam adalah tidak PD (pecaya diri) mengusung perjuangan dan ideologi Islam. Tidak berani secara total. Mental seperti ini sudah dimulai, pada 1998, ketika Amien Rais sudah menyetujui duduk sebagai Ketua Umum PPP, belakangan juga PBB, tiba-tiba Amien mengumumkan berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN) yang dibentuk sebagai partai terbuka. Anggota PAN pun muncul aktifis Cina, Alfin Lee, juga Bara Hasibuan yang Nasrani. Dengan masuknya Alfin Lee dan Bara apakah menyebabkan orang Kristen dan Cina memilih PAN, ternyata tidak sama sekali. Cara berpikir yang cenderung mengidap inferiority-complex ini diikuti PKS yang mengumumkan sebagai partai terbuka pada muktamar PKS di Bali beberapa tahun lalu. Apa hasilnya, PKS justru memanen perpecahan sengit di kalangan internal PKS. Dan yang lebih fatal menyebabkan perolehan suara PKS merosot pada Pemilu 2009 lalu. Apalagi ditambah perilaku satu, dua anggota PKS yang jauh dari teladan--ingat kasus anggota PKS yang sedang getol menonton video porno di tengah persidangan DPR dan diabadikan oleh kamera wartawan-- yang kemudian dijadikan bahan empuk untuk selalu menyudutkan partai-partai Islam.
Kini dengan maraknya kebangkitan kekuatan politik Islam di Timur Tengah, pasca Revolusi Flamboyan seperti di Mesir, Tunisia, Aljazair, juga jauh sebelumnya di Turki, apa yang terjadi pada partai-partai Islam di Indonesia hanya membuat getir bahkan pahit. Apalagi di tengah opini luas kalangan politisi/Parlemen, juga partai politik yang citranya amat buruk dewasa ini, maka masa depan kemenangan politik tampaknya justru mengandalkan kekuatan tokoh yang akan ditampilkan. Dan partai Islam pun saat ini kosong dari tokoh, pemimpin yang teladan. Sebenarnya kalangan parta Nasionalis- sekuler pun sama halnya kosong dari tokoh yang layak diusungnya. Buktinya mereka hanya menggadang-gadang tokoh lama yang sudah diketahui cacat.
Masih ada waktu untuk mempersiapkan tokoh Islam sejati dan teladan bagi semua kekuatan partai Islam. Masih ada waktu untuk partai Islam berlaku PD untuk mengusung ideologi Islam, dengan tegas dan total. Masih ada waktu bagi partai Islam untuk bersatu-padu dalam wadah persatuan Islam yang terbukti membawa kemenangan itu. Wallahua'lam bissawab
0 komentar:
Posting Komentar